PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA
DOI:
https://doi.org/10.22437/jisipunja.v6i1.17417Keywords:
HAM, Hak Masyarakat Adat, Ibu Kota NegaraAbstract
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Pulau Kalimantan memerlukan sekurang-nya 262.814 hektar lahan. Pada sebagian area tersebut terdapat tanah milik masyarakat adat. Penelitian ini mencoba menjelaskan sejauhmana upaya perlindungan hak atas tanah masyarakat adat dalam proses pemindahan IKN dengan menggunakan kerangka berpikir Helen Quane (2005) yang menjelaskan perlunya sejumlah prasyarat agar suatu pekerjaan pembangunan (dalam konteks penelitian ini adalah pembangunan IKN) tidak melanggar hak masyarakat adat yang tinggal pada wilayah pembangunan tersebut. Menurut Quane, syarat pertama adalah suatu pekerjaan pembangunan harus memiliki basis kebijakan yang kuat. Kedua, proyek pembangunan harus membawa manfaat yang jelas bagi masyarakat adat. Ketiga, memastikan adanya mitigasi terhadap kemungkinan dampak negatif kebijakan. Keempat, perlu ada upaya yang meminimalisasi terjadinya implikasi negatif. Selain itu, diperlukan pula syarat partisipatif untuk memastikan adanya keterlibatan masyarakat adat dalam proses kebijakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data primer yang bersumber dari wawancara dengan tim pemerintah dan para advokat hak masyarakat adat serta dilengkapi dengan sejumlah data sekunder. Penelitian ini menemukan bahwa pemerintah telah mengupayakan sebagian prasyarat substantif dan prosedural dalam upaya perlindungan hak masyarakat adat. Namun, sebagian inisiatif pemerintah tersebut belum seluruhnya sensitif dan ramah terhadap kepentingan masyarakat adat