PAMPAS: Journal of Criminal Law
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas
<p style="text-align: justify;"><em>PAMPAS: Journal of Criminal Law</em> (ISSN Print <a href="http://u.lipi.go.id/1581918104" target="_blank" rel="noopener">2721-7205</a> ISSN Online <a href="http://u.lipi.go.id/1571124916" target="_blank" rel="noopener">2721-8325</a>) is a periodical scientific publication in the field of Criminal Law. The word <em>Pampas</em> comes from the Malay language which means Compensation, Pampas is a traditional Jambi sanction as a law to injure people. This journal is published by the Faculty of Law, Jambi University as a medium for discussing Criminal Law. First published in February 2020, <em>PAMPAS: Journal of Criminal Law</em> is published three times a year, namely in February, June and October. In each of its publications, <em>PAMPAS: Journal of Criminal Law</em> publishes 8-10 articles on the results of research or research on criminal law. <strong><em>PAMPAS: Journal of Criminal Law</em> publishes articles on the results of research or studies of criminal law, including: (1) criminal law (2) criminal procedural law (3) criminology (4) victimology (5) special crimes (6) criminal law enforcement (7) criminal law reform (8) penal policy (9) comparative criminal law (10) criminal law and punishment (11) international criminal law (12) criminal customary law (13) criminal justice system (14) Islamic Criminal Law (15) military crime and the study of Indonesian criminal law which is global in nature in accordance with the latest developments in the dynamics of criminal law.</strong></p>Fakultas Hukum, Universitas Jambien-USPAMPAS: Journal of Criminal Law2721-7205<p>This work is licensed under <a href="https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/" rel="license">Creative Commons Attribution 4.0 International License</a>. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. <a href="https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/Copyright" target="_blank" rel="noopener"><strong>Author(s) retain copyrights </strong></a>under the licence of Creative Commons <span class="cc-license-title">4.0 International</span> <span class="cc-license-identifier">(CC BY 4.0).</span></p>Fungsi Sidik Jari Pada Proses Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37249
Yudhy Azhari RitongaAndi NajemiHerry Liyus
Copyright (c) 2024 Yudhy Azhari Ritonga, Andi Najemi, Herry Liyus
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-202024-10-205325326510.22437/pampas.v5i3.37249Transformasi Pemeriksaan Perkara Pidana Melalui Restorative Justice di Tingkat Pengadilan Negeri
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37273
<p>Not always is the resolution of criminal acts through formal legal processes beneficial for those seeking justice; in many cases, the community prefers the resolution of criminal acts outside the judicial system. Due to the ongoing belief that if criminal acts are pursued through the judicial system, it is considered unbalanced and does not reflect a sense of justice for the community, particularly in terms of examination at the district court level. To address this issue, the resolution of criminal cases must adopt a different approach, one of which is through a restorative justice approach that protects the perpetrators, victims, and other parties involved directly or indirectly with the crime. Previously, the guidelines for resolving cases in court through restorative justice were based on the Decree of the Director General of General Courts Number 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Currently, the guidelines for judges during court proceedings in resolving cases through a restorative justice approach are based on the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1 of 2024 concerning Guidelines for Adjudicating Criminal Cases Based on Restorative Justice. In the examination through restorative justice, the effort for reconciliation between the parties involved in the case is an element that must be implemented. That is why researchers are interested in examining how the transformation of criminal case examinations occurs through restorative justice in the district court. From the research findings, it is known that the regulation of case resolution in the district court uses Supreme Court Regulation Number 1 of 2024 concerning Guidelines for Adjudicating Criminal Cases Based on Restorative Justice. Moving forward, there is a need to optimize the role of judges during court proceedings in playing a crucial role in achieving peace among the perpetrators, victims, and the community or those affected by a criminal act.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Tidak selalu penyelesaian tindak pidana melalui proses hukum formal menguntungkan bagi mereka yang mencari keadilan, dalam banyak kasus, masyarakat lebih menginginkan penyelesaian tindak pidana di luar sistem peradilan. Dikarenakan masih ada anggapan bahwa jika tindak pidana dilanjutkan melalui sistem peradilan, dianggap tidak seimbang dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dalam hal ini pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri. Untuk mengatasi masalah ini, penyelesaian kasus pidana harus menggunakan pendekatan yang berbeda salah satunya yakni melalui pendekatan restorative justice, yang melindungi pelaku, korban, dan pihak lain yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana. Sebelumnya pedoman penyelesaian perkara di pengadilan melalui restorative justice berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020,saat ini yang menjadi pedoman hakim pada pemeriksaan di pengadilan dalam menyelesaiakan perkara melalui pendekatan restorative justice berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative. Dalam pemeriksaan melalui restorative justice, upaya perdamaian antara para pihak yang berperkara merupakan elemen yang harus diterapkan. Untuk itulah peneliti tertarik dan ingin melihat bagaimana transformasi pemeriksaan perkara pidana melalui restorative justice di pengadilan negeri. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan penyelesaian perkara di pengadilan negeri menggunakan Perma Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative, kedepannya perlu optimalisasi peran hakim pada pemeriksaan di pengadilan dalam memainkan peran penting dalam mencapai perdamaian antara pelaku, korban dan masyarakat atau mereka yang terdampak dari suatu tindak pidana.</p>Dheny WahyudhiSri Rahayu
Copyright (c) 2024 Dheny Wahyudhi, Sri Rahayu
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275326627810.22437/pampas.v5i3.37273Pengaturan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37252
<p><em>This article aims to find out and analyze the legal provisions for the criminal act of insulting the President and Vice President and to find out and analyze the urgency for the government to re-establish the article on insulting the President and Vice President. This article discusses the legal provisions governing the criminal act of insulting the President and Vice President and whether it is urgent for the government to re-establish this article. The type of research used is normative juridical. The results of the research show that the legal provisions for the insult article are contained in Article 310-321 of the Criminal Code, Article 27 Paragraph (3) of the ITE Law, Article 134, Article 136 bis, and Article 137 of the Criminal Code. Currently it is regulated in Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code which consists of Article 218 Paragraphs (1) and (2), Article 219 and Article 220 Paragraphs (1) and (2). The government's urgency regarding the insult article is that the president is a symbol of the state, insult is a disgraceful act, it is felt odd if insulting the president is not regulated. Therefore the suggestion put forward is to remove the article on insulting the President and Vice President in accordance with the decision of the Constitutional Court, because the decision of the Constitutional Court is final and binding</em></p> <p><strong>ABSTRAK </strong></p> <p><em>Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden serta untuk mengetahui dan menganalisis urgensi pemerintah menetapkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dalam tulisan ini membahas 1). Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden? serta 2). Apakah urgensi pemerintah menetapkan kembali pasal tersebut?. Tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif. Hasil penelitian diketahui bahwa: 1). Ketentuan hukum pasal penghinaan terdapat pada Pasal 310-321 KUHP,Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Saat ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang terdiri dari Pasal 218 Ayat (1), dan (2), Pasal 219, dan Pasal 220 Ayat (1) dan 2). Urgensi pemerintah tentang pasal penghinaan yaitu presiden merupakan simbol negara, penghinaan merupakan perbuatan tercela, dirasakan janggal kalau penghinaan presiden tidak diatur. Maka dari itu saran yang diajukan yaitu untuk menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dikarenakan putusan Mahkamah Konsitusi bersifat final dan mengikat. </em></p>Dimas PrayogaUsmanNys Arfa
Copyright (c) 2024 Dimas Prayoga, Usman, Nys Arfa
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275327929610.22437/pampas.v5i3.37252Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belum Optimalnya Pelaksanaan Restorative Justice di Polres Muaro Jambi
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/36944
<p><em>This study aims to evaluate the implementation of restorative justice in Polres Muaro Jambi, identify factors that influence its effectiveness, and provide recommendations for improvement. The research method used is a qualitative approach with a case study design. Data were collected through in-depth interviews with police officers, officers, and victims and perpetrators; participant observation in the field; and documentation from reports and case notes. Data analysis was conducted using thematic analysis techniques to identify key themes related to the successes, challenges, and recommendations for the implementation of restorative justice. The results of the study indicate that the implementation of restorative justice in Polres Muaro Jambi experienced several obstacles, such as lack of training, minimal resource support, and barriers to communication between related parties. Although there were some successes in resolving cases, these challenges reduced the effectiveness of the program. This study recommends increased training, adequate resource allocation, and improvements in communication mechanisms to improve the effectiveness of restorative justice implementation.</em></p> <p>ABSTRAK</p> <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan restorative justice di Polres Muaro Jambi, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitasnya, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pejabat kepolisian, petugas, serta korban dan pelaku; observasi partisipatif di lapangan; dan dokumentasi dari laporan serta catatan kasus. Analisis data dilakukan menggunakan teknik analisis tematik untuk mengidentifikasi tema-tema utama terkait keberhasilan, tantangan, dan rekomendasi pelaksanaan restorative justice. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi restorative justice di Polres Muaro Jambi mengalami beberapa kendala, seperti kurangnya pelatihan, minimnya dukungan sumber daya, dan hambatan dalam komunikasi antara pihak-pihak terkait. Meskipun terdapat beberapa keberhasilan dalam penyelesaian kasus, tantangan-tantangan tersebut mengurangi efektivitas program. Penelitian ini merekomendasikan peningkatan pelatihan, alokasi sumber daya yang memadai, dan perbaikan dalam mekanisme komunikasi untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan restorative justice.</p>Alifa Zahrani PutriTri Imam MunandarHaryadi
Copyright (c) 2024 Alifa Zahrani Putri, Tri Imam Munandar, Tri Imam Munandar, haryadi
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275329731410.22437/pampas.v5i3.36944Implementasi Restorative Justice pada Penghentian Penyidikan di Polresta Jambi
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/36959
<p><em>This research aims to investigate the implementation of Restorative Justice in discontinuing investigations at Polresta Jambi. Against the backdrop of Indonesia's integrated criminal justice system and the necessity for a more comprehensive approach to handling criminal cases, Restorative Justice emerges as a primary focus. However, the challenges encountered in its application at Polresta Jambi necessitate a thorough understanding. The research methodology utilized is qualitative, incorporating techniques such as interviews, observations, and document analysis. The findings reveal that while Polresta Jambi is committed to implementing Restorative Justice, it faces several obstacles. Chief among these is the reluctance of victims to settle cases amicably, instances of cross-reporting between victims and suspects, and suspect evasion. Despite these challenges, Polresta Jambi has taken strategic measures to address them. These include the processes of case identification, the formation of Restorative Justice teams, structured dialogues, and the introduction of rehabilitation concepts as integral components of case resolution efforts. Nonetheless, the need for a clearer understanding of the Restorative Justice concept and societal reactions to discontinuing investigations presents additional hurdles. In conclusion, while challenges persist, Polresta Jambi's efforts demonstrate a commitment to implementing Restorative Justice. This implementation offers a more humane and effective alternative in handling criminal cases, though continued evaluation and refinement are necessary to enhance its efficacy.</em></p> <p>ABSTRAK</p> <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi implementasi Restorative Justice dalam penghentian penyidikan di Polresta Jambi. Dengan latar belakang sistem peradilan pidana yang terpadu di Indonesia dan kebutuhan akan pendekatan yang lebih holistik dalam menangani kasus kriminal, Restorative Justice menjadi fokus utama. Namun, kendala dalam penerapannya di Polresta Jambi memerlukan pemahaman yang mendalam. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil analisis menunjukkan bahwa Polresta Jambi telah berkomitmen menerapkan Restorative Justice, namun masih menghadapi beberapa kendala. Salah satu kendala utama adalah ketidaksetujuan korban untuk menyelesaikan perkara secara damai, pelaporan silang antara korban dan terlapor, serta pelarian terlapor. Namun demikian, Polresta Jambi telah mengambil langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan ini. Proses identifikasi kasus, pembentukan tim Restorative Justice, dialog terstruktur, dan konsep rehabilitasi menjadi bagian integral dari upaya penyelesaian kasus. Meskipun demikian, perlunya pemahaman yang lebih jelas tentang konsep Restorative Justice dan reaksi masyarakat terhadap penghentian penyidikan menjadi kendala tersendiri. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa meskipun ada kendala, Polresta Jambi telah menunjukkan komitmen dalam menerapkan Restorative Justice. Implementasi ini memberikan alternatif yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani kasus kriminal, meskipun masih memerlukan evaluasi dan perbaikan lebih lanjut untuk meningkatkan keberhasilannya.</p>Tamara Adriani PowaHafridaErwin
Copyright (c) 2024 Tamara Adriani Powa, Hafrida, Erwin
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275331532410.22437/pampas.v5i3.36959Penanganan Korban Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37274
<p><em>This study is aimed at understanding forms of sexual violence in higher education, both verbal, non-verbal, physical and non-physical, both direct and indirect, which are not yet understood by the academic community. Apart from that, to analyze how victims of sexual violence are handled in higher education environments based on Minister of Education and Culture Regulation Number 30 of 2021 concerning Prevention and Handling of Sexual Violence in Higher Education Environments. Based on the provisions of the Minister of Education and Culture, there are 21 types or forms of sexual violence regulated in this regulation, some of the acts in the Minister of Education and Culture and Technology have never previously been regulated in criminal law regulations. Handling sexual violence in the tertiary environment is carried out by providing assistance, protection, imposing administrative sanctions and recovering victims. Administrative sanctions will be imposed if the perpetrator is proven guilty. In the event that the perpetrator has carried out sanctions, whether mild or moderate, the obligation that the perpetrator must carry out is to carry out counseling, in accordance with Article 14 Number 5 and Number 7. However, this article is not clear regarding the criteria for a credible institution to carry out counseling and there are no assessment indicators that contain that the perpetrator has no potential to repeat the act and can carry out activities again on campus. Because this is important, because only on the basis of this counseling report can the university leadership issue a certificate stating that the perpetrator has carried out sanctions and can carry out activities on campus. Suggestions from the discussion, regarding the forms of sexual violence regulated in the Minister of Education and Culture Regulation, require explanations and concrete forms of abstract types of sexual violence. Furthermore, it is necessary to include in the Permendikbudristek guidelines regarding the criteria for counseling institutions for perpetrators, as well as indicators to be able to state that the perpetrator has no potential to repeat the act.</em></p> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Kajian ini ditujukan untuk memahami bentuk kekerasan seksual di perguruan tinggi, baik yang bersifat verbal, non verbal, fisik dan non fisik, baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum dipahami civitas akademika. Selain itu, untuk menganalisis bagaimana penanganan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi berdasarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Berdasarkan ketentuan Permendikbudristek ada 21 jenis atau bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan tersebut, yang beberapa perbuatan dalam Permendikbudristek tersebut tidak pernah diatur sebelumnya dalam aturan hukum pidana. Penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dilakukan dengan memberikan pendampingan, pelindungan, pengenaan sanksi administrasi dan pemulihan korban. Pengenaan sanksi administrasi dilakukan jika pelaku terbukti bersalah. Dalam hal pelaku telah melaksanakan sanksi baik ringan maupun sedang, kewajiban yang harus dilakukan pelaku menjalankan konseling, sesuai Pasal 14 Angka 5 dan Angka 7. Namun pasal ini, belum jelas, terkait kriteria lembaga yang kredibel untuk melaksanakan konseling dan tidak ada indikator penilaian yang memuat bahwa pelaku tidak berpotensi mengulang perbuatan dan dapat melaksanakan aktivitas kembali di kampus. Sebab hal ini menjadi penting, karena hanya atas dasar laporan konseling inilah pimpinan perguruan tinggi dapat mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi dan dapat berkegiatan di kampus. Saran dari pembahasan, terkait bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Permendikbudristek perlu penjelasan dan bentuk konkrit jenis kekerasan seksual yang bersifat abstrak. Selanjutnya perlu dimuatkan dalam pedoman Permendikbudristek terkait kriteria lembaga konseling pelaku, serta inidkator untuk dapat dinyatakan bahwa pelaku tidak berpotensi mengulangi perbuatan.</p>A ZarkasiElizabeth Siregar
Copyright (c) 2024 A Zarkasi, Elizabeth Siregar
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275332533710.22437/pampas.v5i3.37274Depenalisasi Penyalahgunaan Narkotika Studi Komparatif Indonesia dan Portugal
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37448
<p><em>This article aims to analyze the legal policies regarding narcotics abusers in Indonesia and then compare them with the legal policies for narcotics abusers in Portugal. The study provides insights into whether Indonesia can learn from and adopt Portugal's policies, and if so, how this adoption might take place. This research employs normative legal research using secondary data, with a conceptual and comparative approach.The article finds that a feasible adoption model for Indonesia is depenalization. Depenalization in Indonesia can be achieved by reformulating the narcotics law. This reformulation includes categorizing narcotics users as addicts, self-users, and victims of narcotics abuse as victims of narcotics crimes. These individuals should be subjected to medical and social rehabilitation measures rather than criminal penalties.The depenalization concept is applied in Articles 54, 103, and 127 of the Narcotics Law, removing criminal sanctions for addicts, self-users, and victims of narcotics abuse. The article concludes that by adopting a depenalization policy, Indonesia can significantly reduce narcotics problems, as evidenced by Portugal's success. However, this requires substantial changes in the legal framework and societal attitudes towards addicts and narcotics abusers.Implementing a depenalization policy requires strong commitment from all relevant parties, including policymakers, law enforcement, and the general public.</em></p> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana kebijakan hukum penyalahguna Nakotika di Indonesia kemudian melihat dan membandingkan kebijakan hukum penyalahguna Narkotika di Portugal. Tulisan ini akan memberikan Gambaran apakah Indonesia dapat belajar dan mengadopsi kebijakan di Portugal kemudian pengadopsian yang bagaimana. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan perbandingan. Tulisan ini menemukan bahwa pengadopsian yang memungkinkan kita gunakan adalah dengan model depenalisasi. Depenalisasi di Indonesia dapat dilakukan dengan mereformulasikan ulang undang-undang narkotika. Reformulasi ini mencakup penggolongan pemakai narkotika sebagai pecandu, penyalahguna untuk diri sendiri, dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai korban dari kejahatan narkotika itu sendiri. Mereka diwajibkan untuk diberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan sosial, bukan hukuman pidana. Konsep depenalisasi ini diterapkan dalam Pasal 54, 103, dan 127 Undang-Undang Narkotika dengan menghilangkan sanksi pidana bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna. Artikel ini menemukan bahwa dengan mengadopsi kebijakan depenalisasi, Indonesia dapat mengurangi permasalahan narkotika secara signifikan, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Portugal. Namun, hal ini memerlukan perubahan signifikan dalam kerangka hukum dan pandangan masyarakat terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika. Implementasi kebijakan depenalisasi membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak terkait, termasuk pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat umum.</p>Fadhli Muhaimin Ishaq
Copyright (c) 2024 Fadhli Muhaimin Ishaq
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-272024-10-275333835110.22437/pampas.v5i3.37448Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat di Daerah Pertambangan Kabupaten Bangka Tengah
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/36743
<p><em>As the project moves forward, it creates serious issues since it is not making the most of the natural resources in the area and the need for fulfillment or protection. Every member of the community has their human rights contained or hidden in the mining area. Enhancing peace within the community is necessary due to the negative effects that make it unpleasant and lead to confrontations with mining operations. Legislation and a conceptual framework are used in this research to apply normative law. In Indonesia, the Mining Licensing Arrangement refers to the framework of an agreement that needs to be established prior to the commencement of a mining project. Mining permits encompass a variety of forms, methods, approaches, ideas, procedures, and project schedules. In order to harmonize the management or</em> <em>utilization of natural resource content, namely minerals and coal, the government grants rights to the community surrounding the mine. This allows the community and mining companies to collaborate and</em><em> oversee </em><em>one another. This is an example of preventive legal protection. When mining takes place on indigenous peoples' customary lands, the mining industry's licensee is required to comply, which is a type of oppressive legal protection.</em></p> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Seiring berjalannya pertambangan ini menimbulkan masalah serius karena tidak memanfaatkan sumber daya alam di daerah tersebut secara maksimal dan kebutuhan akan pemenuhan atau perlindungan. Setiap anggota masyarakat memiliki hak asasi manusia yang terkandung atau tersembunyi di dalam area pertambangan. Meningkatkan perdamaian di dalam masyarakat sangat diperlukan karena efek negatif yang membuatnya tidak menyenangkan dan mengarah pada konfrontasi dengan operasi pertambangan. Perundang-undangan dan kerangka konseptual digunakan dalam penelitian ini untuk menerapkan hukum normatif. Di Indonesia, Pengaturan Perizinan Pertambangan mengacu pada kerangka kerja perjanjian yang perlu ditetapkan sebelum dimulainya proyek pertambangan. Izin pertambangan mencakup berbagai bentuk, metode, pendekatan, ide, prosedur, dan jadwal proyek. Dalam rangka menyelaraskan pengelolaan atau pemanfaatan kandungan sumber daya alam, yaitu mineral dan batubara, pemerintah memberikan hak kepada masyarakat di sekitar tambang. Hal ini memungkinkan masyarakat dan perusahaan tambang untuk berkolaborasi dan saling mengawasi. Ini adalah contoh perlindungan hukum yang bersifat preventif. Ketika pertambangan dilakukan di atas tanah adat masyarakat adat, pemegang izin industri pertambangan diharuskan untuk mematuhinya, yang merupakan jenis perlindungan hukum yang bersifat menindas.</p>Kevia AgustinJihan WulandariSelvia Oktaviza
Copyright (c) 2024 Kevia Delia Agustin, Jihan Aziz Wulandari, Selvia Oktaviza
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-312024-10-315335236310.22437/pampas.v5i3.36743Mekanisme Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/37250
<p><em>Corruption has become a serious problem for every country in the world, including Indonesia. In 2022, based on the corruption perception index created by Transparency International, Indonesia will be in 110th position out of 180 countries with a score of 34. Therefore, it is very important for a country to have an effective mechanism, especially in the mechanism for recovering state financial losses in acts of corruption. This research discusses the Mechanism of Returning State Financial Losses in Corruption Crimes from the Perspective of Legislation in Indonesia. The aim of this research is to understand the regulation of returning state losses from criminal acts of corruption in Indonesia based on statutory regulations. This research uses various approaches, including conceptual approaches, legislation, cases, and normative juridical research types. The focus is on the mechanism for returning state losses in accordance with statutory regulations, as well as challenges in handling criminal acts of corruption. The research results show that the application of restorative justice in corruption cases reduces the burden on the state budget because there is no need to process and maintain perpetrators of criminal acts of corruption who are detained or convicted. However, the findings also show that there is a discrepancy with Article 4 of Law no. 31/1999, which states that restitution of losses to the state or the state economy does not eliminate the punishment of perpetrators of criminal acts intended in Article 2 and Article 3.</em></p> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Korupsi telah menjadi masalah serius bagi setiap negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Pada tahun 2022 berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dibuat oleh <em>Transparency International</em> Indonesia di posisi ke 110 dari 180 negara dengan skor 34. Oleh karena itu sangat penting suatu negara memiliki mekanisme yang ekfektif terutama dalam mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindakan korupsi. Penelitian ini membahas Mekanisme Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah memahami pengaturan pengembalian kerugian negara pada tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan konseptual, perundang-undangan, kasus, dan tipe penelitian yuridis normatif. Fokusnya adalah pada mekanisme pengembalian kerugian negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta tantangan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan restorative justice dalam kasus korupsi mengurangi beban anggaran negara karena tidak perlu memproses dan memelihara pelaku tindak pidana korupsi yang ditahan atau dipidana. Namun, temuan juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan Pasal 4 UU No. 31/1999, yang menyatakan bahwa Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.</p>Lidya AgustinSahuri LasmadiYulia Monita
Copyright (c) 2024 Lidya Agustin, Sahuri Lasmadi, Yulia Monita
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-312024-10-315336437810.22437/pampas.v5i3.37250Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemaksaan Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/38200
<p>The purpose of this research is to identify, analyze and criticize the application of criminal penalties for the crime of forcing sexual intercourse with a child in Decision No. 141/Pid.Sus/2023/PN Mrt. This research uses a normative juridical research method, meaning that this research starts from a legal issue by analyzing a legal problem through statutory regulations, literature and other reference materials. And this research uses several approaches, including a statutory approach, a case law approach, a historical approach, a comparative approach and a conceptual approach. The results of this research show that in the judge's opinion that punishment is imposed on perpetrators who come from ethnic groups, children are of the opinion that punishment is not merely pursuing the objectives of the law itself. The panel of judges, in considering the sentence imposed, pays attention to the condition of the community, especially the tribal community, that in tribal communities where they have different customs from society in general, so that in this case the judge in taking a stance on the sentence imposed deviates from the special minimum rules. as specified in the law.</p> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu guna mengidentifikasi, menganalisis, serta mengkritisi mengenai penerapan penjatuhan pidana pada Tindak Pidana Pemaksaan Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak pada Putusan No. 141/Pid.Sus/2023/PN Mrt. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative, artinya penelitian ini berangkat dari adanya isu hukum dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan, literatur dan bahan referensi lainnya. Dan penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan antara lain pendekatan undang-undang (<em>statute approach</em>), pendekatan kasus (<em>case law approach</em>), pendekatan historis (<em>historis approach</em>), pendekatan perbanddingan (<em>comparative approach</em>) dan pendekatan konseptual (<em>conseptual approach</em>). Hasil dari penelitian ini melihat bahwa penjatuhan pidana terhadap pelaku yang berasal dari kalangan suku anak dalam hakim berpendapat bahwa hukuman bukanlah semata-mata mengejar tujuan hukum itu sendiri. Majelis hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan pidananya, memperhatikan pada kondisi masyarakat khususnya masyarakat suku anak dalam bahwa didalam masyarakat suku anak dalam dimana mereka mempunyai adat istiadat yang lain dari masyarakat pada umumnya sehingga dalam hal ini hakim dalam mengambil sikap terhadap pidana yang dijatuhkan menyimpang dari aturan minimal khusus sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.</p>Widia AnggrainiElly SudartiDessy Rakhmawati
Copyright (c) 2024 Widia Anggraini, Elly Sudarti, Dessy Rakhmawati
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2024-10-312024-10-315337938910.22437/pampas.v5i3.38200